Tahu Sapa Dia?


  

Gadis cilik yang ada di sampingku pergi. Entah apa karena aku diam tak menjawab perkataannya. 

Senin yang indah, aku tarik napasku dalam-dalam. Rintik hujan datang menyapaku. Awalnya hanya tetesan kecil saja, tapi lama-lama seribu temannya datang mengguyur bumi. Aku lari tergesa-gesa menuju sebuah rumah pohon kecil. Aku menanti jemputanku, mobil sedan berwarna hitam. Rumah pohon ini nyaman, aku baru menyadari kalau di dekat sekolahku terdapat rumah pohon mungil seperti ini.

Mama melarang aku untuk jajan sembarangan, tapi aku tak bisa menahan rasa hausku. Tempat minum yang aku kalungi ternyata sudah hampir habis. Seteguk air tidak dapat menghilangkan rasa hausku. Aku harus beli sebuah air mineral, aku rogoh sakuku. Aku mulai menghitung uangnya. Yang paling aku hapal adalah uang 1000. Pokoknya yang terdapat danau birunya itu seribu! Aku bergumam dalam hati. Uangku ada yang gambarnya monyet tertulis 500. Aku belum tahu mana yang lebih besar jumlahnya. Baiklah, aku mulai mempercepat langkahku ke sebuah toko dekat perempatan jalan.

Warna minumannya ada yang warna-warni, karena aku suka biru. Aku beli yang berwarna biru. Aku sampai lupa dengan niatku yang pertama kalau aku hanya membeli air mineral saja. Ternyata masih ada uang kembaliannya, namun aku tidak tahu berapa uang kembaliannya. 

Uang monyet dan uang danau biru bermanfaat juga akhirnya, rasa minuman ini lama-lama terasa pahit. Aku jera untuk membelinya lagi. "Kasyifa!" aku melihat Papa di ujung sana. Langkahku terhenti, aku mendengar suara terompet yang nyaring. Alunan nadanya tidak kalah dengan alunan klasik pianonya Kak Nurul. Suaranya sangat jelas, sampai akhirnya... seorang laki-laki yang duduk di kursi roda terlihat  di balik tirai besar. Aku pensaran, aku memasuki rumah tua itu. Bapak tua itu sedang memainkan sebuah terompet. Terompet ini lain dari terompet yang aku mainkan di tahun baru. Elok sekali suaranya.. Telinga mungilku aku dekatkan di sebuah jendela besar. 

Ah...talinya lepas!aku segera merunduk kebawah membenarkan tali sepatuku. Bapak tua itu hilang dari balik jendela. Aku tak melihatnya lagi, kepalaku aku julurkan dekat dengan kaca jendela itu. Suaranya hening, tidak ada lagi suara terompet yang aneh itu. Dimana bapak tua itu? Aku masih ingin mendengarkannya lagi....Aku langsung berjalan dengan penuh rasa penasaran ke arah Papaku.

Aku membalikkan halaman berikutnya. Kini aku lihat diriku tersenyum. Entah apa alasannya.. Aku ingin ingin tahu alasannya...

Komentar