Inilah akibatnya! Aku Jera!

"Sudah beranjak reamaja, jangan bertingkah seperti anak kecil lagi, rubahlah sikapmu itu, janji ya" Aku bercermin, mengatakan semua itu kepadaku sendiri. '
Lihatlah! Ini diriku yang sekarang. Sejak kecil,aku suka membayangkan diriku di masa remaja nanti, apakah aku cantik?apakah aku akan tinggi?apakah aku akan menjadi anak yang pintar menari? Kala itu impian menjadi seorang penari pupus di telan waktu, aku tak menyukai jika aku berlenggak-lenggok di depan mata orang. Tak pantas rasanya, pikirku matang-matang. Aku memang suka bernari asal-asalan, itu hanya sekedar menghibur diri sendiri, tak sampai memutuskan untuk bercita-cita sebagai penari. Aku terlalu payah dalam mengatur gerakan tubuh, sangat menyakitkan mata untuk di lihat.

Hidupku seperti manusia di zaman Neolithikum yang sudah mengenal istilah nomaden. Betapa memilukan bagiku. Aku kehilangan kontak dengan teman-teman SD, gara-gara harus pindah ke Jogja. Setelah lulus SD, aku melanjutkan SMP di Jogja. Budaya Jawa di kota ini sangat kental, bahasa Jawa yang halus saja harus di poles lagi supaya lebih halus. Mau di halusin apa tidak, tetap saja tidak ada yang berubah dari bahasaku, aku tetap menggunakan bahasa Indonesia untuk sehari-hari. Lawan bicaraku di rumah saja tidak lancar menggunakan bahasa Jawa. Kalau didengarkan, begitu terasa sumbang dan aneh.

Aku tak banyak memiliki pengalaman yang menyenangkan di waktu SMP. Aku merasa sedih lulus dari SD ku dengan nilai akhir yang tidak memuaskan. Bermodalkan nem hanya 24, harapanku tidak terlalu besar untuk menginjakkan kaki di SMP favorite di Jogja. Aku tinggal di Sleman, aku tahu diri sebelumnya, aku putuskan jangan terlalu terobsesi dengan sekolah-sekolah yang terbagus di Jogja. Toh, tidak akan terwujud juga sebab nem 24 itu langsung di tolak di awal pendaftaran hari pertama. Aku tidak mau mengulang nilai akhir yang tragis seperti itu. Aku mau bersungguh-sungguh, di SMP prestasiku akan meroket.

Aku meneteskan air mataku, ketika mendapati bahwa sekolah di Sleman ini tidak menerima murid jika ijazah asli belum keluar. Aku menangis keras, memecahkan sudut-sudut rumah yang belum tertata rapi setelah pindahan. Saat itu aku merasa aku harus memutuskan untuk memilih pondok di banding tidak bersekolah. Aku sudah mengatakannya berulang kali kepada Mama. Ini salahku, aku tahu resikonya. Kalau aku tidak malas belajar waktu SD aku tidak akan mendapat nilai akhir yang tragis seperti ini, dan juga tidak perlu menangisi semua yang telah terjadi. Papa tidak mengijinkan aku untuk masuk pondok. Ijazah asliku belum keluar, bagaimana aku bisa di terima di sekolah yang menjadi harapanku satu-satunya??

Aku tak banyak bicara, ketika emosi Papa sudah mulai terlihat. Papa langsung mengajak Mama untuk menemui kepala sekolah. Kalau di lihat-lihat nemku ini termasuk nem yang cukup tinggi di sekolah tersebut. Aku juga berfikir, kalau aku sudah di terima disana, betapa hati ini sangat terguncang. Lulusan SD berstandar islami yang menjadi sekolah favorite di Magelang kini bersekolah di sekolah yang tak tahu apakah sekolah itu mengajarkan agama islam dengan benar atau tidak, murid-murid yang baik atau sebaliknya. Aku terus memikirkan itu. Bagaimana kalau kepribadianku berubah ketika aku mulai terpengaruh oleh anak-anak disana?

Seakan-akan aku telah mengecap jelek sekolahku sebelum aku tahu dengan pasti.

Komentar